Gempa Gunungkidul Dikaitkan Megathrust, Ini Penjelasan BMKG DIY

Gempa bumi yang terjadi di Gunungkidul tadi malam membuat publik mengaitkannya dengan aktivitas megathrust, atau gempa bumi berskala besar yang belakangan ini menjadi pembahasan. Begini penjelasan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Koordinator Tim Observasi Stasiun Geofisika BMKG DIY, Budiarta, menuturkan bahwa selatan perairan laut Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat zona tumbukan lempeng. Tepatnya antara lempeng Indo Australia dengan lempeng Eurasia. Sehingga potensi megathrust memang bisa terjadi sewaktu-waktu.

"Memang daerah kita atau wilayah kita itu memang dilalui ya (lempeng). Tempat di mana jarak dari pertemuan lempeng sekitar 200 kilometer dari pesisir pantai perlu diwaspadai. Di situ yang sekarang lagi ngetren adalah megathrust atau patahan naik dengan kekuatan besar," jelasnya saat ditemui di Kantor Stasiun Geofisika BMKG DIY, Gamping, Sleman, Se

Budi menuturkan, bentangan pertemuan kedua lempeng benua sangatlah luas. Terbentang dari sisi Barat Pulau Sumatera hingga perairan Nusa Tenggara Timur sisi selatan ke utara. Titik akhir pertemuan lempeng ini berakhir di kawasan Maluku.

Berdasarkan data ini, Budi memastikan bahwa perairan DIY termasuk dalam daerah tumbukan lempeng benua. Tepatnya dari perairan laut selatan Kulon Progo hingga perairan selatan Gunungkidul. Alhasil, gempa dengan beragam kekuatan berpotensi terjadi setiap waktunya.

"Pertemuan lempeng Indo Australia dan Eurasia ini sebenarnya memanjang dari barat Pulau Sumatera kemudian ke selatan kemudian sampai ke selat Sunda, selat Sunda ke timur sampai ke Bali, Bali ke NTT, NTT terus langsung ke utara daerah Maluku," katanya.

Untuk kemunculan tsunami, Budi memastikan tidak dalam setiap kejadian gempa tektonik. Setidaknya, diperlukan gempa berkekuatan di atas magnitudo 7. Kondisi ini lalu memunculkan patahan di kawasan dasar lautan.

Kemunculan tsunami juga kerap ditandai dengan surutnya air laut. Jaraknya tak berselang lama pascaterjadi gempa bumi di kawasan perairan laut. Di satu sisi juga upaya mitigasi telah dilakukan bersama stakeholder terkait.

"Untuk kejadian karena potensi-potensi yang bergempa yang berpotensi tsunami ini ada beberapa kriteria dengan kekuatan magnitudo di atas 7. Disusul adanya deformasi bentuk patahan naik atau patahan turun ya, kemudian kalau secara fisik di laut atau di pesisir pantai ini bisa melihat adanya kecenderungan air laut surut setelah gempa," jelasnya.

Walau begitu, Budi meminta masyarakat untuk tidak panik. Apalagi, pihaknya akan terus menginformasikan kejadian gempa secara realtime.

Termasuk, jika ada gempa laut yang berpotensi memunculkan gelombang tsunami agar masyarakat bisa segera melakukan evakuasi apabila muncul peringatan darurat.

"Langsung kita share ke masyarakat kurang dari 5 menit. Publikasi dengan 12 moda informasi dengan internet. Melalui aplikasi Info BMKG yang dari Android kemudian Instagram kemudian telepon kemudian ada HT juga," katanya.

Gempa Kekuatan Menengah di Zona Megathrust

Sementara itu, Direktur The Ekliptika Institute Marufin Sudibyo, mengategorikan gempa Gunungkidul dengan kekuatan menengah. Menurut catatan BMKG gempa itu memiliki kekuatan magnitudo 5,5 dengan kedalaman titik episentrum 45 kilometer. Sementara jarak dari lokasi episentrum gempa berada dalam zona megathrust.

Penyebab terjadi gempa tektonik adalah tumbukan lempeng Indo Australia dengan lempeng Eurasia. Tercatat dengan skala kekuatan 4 Modified Mercalli Intensity (MMI) dan terasa hingga sebagian besar Jawa Tengah. Efek yang ditimbulkan layaknya truk besar melintas dan menabrak tembok.

"Jadi Gempa Gunungkidul 2024 ini pada dasarnya adalah gempa berkekuatan menengah yang terjadi di zona megathrust, tepatnya zona megathrust Sunda segmen Jawa Tengah-Timur. Namun, magnitudo gempanya masih jauh lebih kecil dibanding potensi yang terpendam di sini," ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (28/8/2024).

Dia lalu memaparkan zona gempa dengan peta sebaran penduduk. Berdasarkan lokasi gempa dan efek, getaran gempa bisa dirasakan oleh 49 juta jiwa. Namun, hanya sebanyak 28 juta jiwa yang merasakan getaran gempa bumi skala 4 MMI.

Kondisi inilah yang membuat potensi kerusakan pascagempa terjadi. Terutama jika struktur bangunan tidak tahan gempa. Sehingga berpotensi rusak ringan hingga berat tergantung kualitas bangunan dan kekuatan gempa bumi.

"Peta USGS menunjukkan getaran yang diakibatkan gempa ini dirasakan oleh 49 juta jiwa dan separuhnya atau 28 juta merasakan getaran 4 MMI. Gempa Gunungkidul 2024 ini kembali membangkitkan kesadaran bahwa zona megathrust Sunda segmen Jawa Tengah-Timur itu memang ada tapi juga bisa diantisipasi dengan mitigasi yang optimal," katanya.

Dilansir detikEdu, awal mula Megathrust ramai dibahas usai gempa Nankai yang terjadi di Jepang. Gempa bermagnitudo 7,1 pada Kamis (8/8) itu bersumber dari megathrust Nankai di timur lepas pantai Pulau Kyushu, Shikoku, dan Kinki, di Jepang Selatan.

Wilayah Jepang yang rawan akan gempa membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berkaca pada wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri, terdapat dua megathrust yang menjadi sorotan, yaitu megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.

BMKG menyatakan potensi gempa besar di dua zona megathrust itu sudah dibahas sejak sebelum terjadi gempa dan tsunami Aceh 2004. Kendati demikian, istilah 'tinggal tunggu waktu' bukan berarti gempa akan segera terjadi.

"Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini bukanlah bentuk peringatan dini (warning) yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. Tidak demikian," kata Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, dalam detikNews Kamis (15/8).

Sumber : Detik

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel